Formulir Kontak



Rabu, 25 Januari 2017

Karna Aku Ingin Tenang




Aku memang terlahir begini. Miskin. Ketika mereka terlahir denagn sendok perak. Mungkin bisa dibilang tak ada sendok yang menyuapiku. Aku memang begini. Tak ada yang peduli. Bahkan Tuhan pun mungkin tidak. Sekarang aku hanya harus berjuang untuk hidup. Membiayai diriku sendiri. Tak ada yang lain. Hanya itu tujuanku atau setidaknya untuk saat ini. Karena aku tak punya siapa-siapa. Tapi aku ingin punya sendok perak itu. agar aku tidak memikirkan ini itu sesusah ini. Hidup yang membuatku gusar dan tak pernah merasakan bagaimana suraga ketenangan itu.
Shani merebahkan tubuh mungilnya di sofa coklat tua. Hanya sofa ini yang mengerti bagaimana lelahnya hari ini. Hanya sofa itu yang bisa menjadi tempatnya bersandar saat ini. Pikirannya kembali pada waktu dimana ia membeli sofa setengah harga itu pada Pak Karto yang pindah ke kampung halamannya. Beruntung. Sofa itu padahal baru dibeli Pak Karto. Tapi karna urusan keluarga, ia harus kembali ke kampong halaman dan tak tau apakah akan kembali atau tidak. Tak ada hubungannya juga dengan Shani. Baginya yang penting sofa baru itu didapatnya dengan harga setengah harga adalah hal yang sangat menyenangkan. Jam dinding telah menapaki jam satu. Hufhh apakah aku tidak bisa istirahat lebih lama lagi? Shani berkemas. Mematuk diri di depan kaca. Part-time. Hanya itu yang bisa dia kerjakan saat ijazahnya masih ber title SMA dan tak ada orang tua yang membiayai kuliah di kota metropolitan.
Siang ini sepi. Tak banyak penggunjung. Tapi kali ini Shani merasa mungkun ini adalah nikmat. Ia sedang tak merasakan semangat dalam menjalani hidup. Mungkin kali ini hidup tau apa yang aku inginkan. Hanya 3 meja yang terisi. Dari 20 meja yang ada. Memang ini tidak seperti biasanya. Café ini biasanya ramai. Apalagi saat istirahat siang. Tapi hari ini berbeda. Ya, masa bodoh. Toh untung ruginya café, Shani tetap di bayar berdasarkan jumlah jam ia bekerja.
Seseorang masuk. Manager. Langkahnya cepat. Matanya terlihat tajam. Dan Shani merasakan tatapan itu menuju padanya. Apa ada yang salah?
“Selamat siang, Pak” sapa Shani seraya menunduk.
“Apa kamu akan terus membuat saya rugi, hah?” Pak Boni membentak seraya melirik seisi café.
“Ma..maksud Bapak apa ya? Saya ga paham, Pak”
Telunjuk kanan Pak Boni cukup menjelaskan semua. Dan juga membuat Shani terkejut. “close”. Shani lupa. Bagaimana orang bisa dan mau masuk kalau jelas-jelas di depan pintu tertulis “close”. Dan orang yang ada di café sekarang boleh dibilang orang yang tak peduli akan tanda itu. Shani, bego banget sih, kenapa ga peka sih,,
“Cukup sudah, saya sudah tidak bisa mentolerir ini. Dua minggu kamu disini dan pendapatan café menurun 5%. Prestasi yang luar biasa. Ini gaji kamu hari ini. ” Amplop putih itu cukup membuat Shani mengerti. Dan ini bukanlah yang pertama kalinya. Dalam satu bulan ini, sudah 3 manager yang telah memecatnya dengan cara yang sasma. Banyak variasi kesalahan. Mulai dari telat datang hingga 2 jam, merusak property, dan ini, lupa membuka café. Dan baginya ini sudah seperti takdir yang sudah siap diterimanya. Seperti menerima matahari yang selalu terbit dari timur. Dan yang harus dipikirkannya hanya satu. Cari pekerjaan baru. Tak ada keahlian khusus. Baginya jujur dan kerja keraslah kunci utama. Meski kecerobohan tingkat tinggi telah meruntuhkan semua itu berkali-kali, Shani tidak pernah mengutuk kecerobohan yang ada pada dirinya. Berharap suatu saat kecerobohan ini akan hilang dengan caranya sendiri.
Langkah kakinya terus menapaki jalan Jakarta. Tak ada motor. Naik angkot pun Shani harus pikir-pikir dulu. Berharap takdir tak seburuk yang dipikirkannya. Dan benar saja. Café biru langit itu telah membuka satu pintu harapan. “Dibutuhkan pelayan wanita”. Tulisan itu terpampang jelas dengan spidol biru tua. Shani makin mendekat. Membaca terperinci pengumuman. Matanya makin semangat ketika semua persyaratan itu ada padanya. Kecuali satu. “berjilbab”. Tapi tak masalah. Cuma tinggal pakai jilbab. Bukanlah hal yang sulit.
Seperti yang diharapkan. Bekerja di café. Shani sangat senang. Apalagi café ini memberikan gaji yang lebih besar daripada café-café sebelumnya tempat ia bekerja. Seharusnya dari dulu aku bekerja disini. Pikiran akan biaya kuliah mulai tersingkirkan. Sekarang ia hanya harus kuliah dengan benar dan bekerja di café ini dengan benar. Ia tidak boleh menyia-nyiakan pekerjaan ini seperti sebelumnya. Kecerobohan tingkat tinggi itu harus bisa ia kendalikan.
Hari ini adalah hari ke-dua ia bekerja. Jam kerjanya menyesuaikan dengan jam kuliah. Kalau ia sedang free ia akan bekerja kalau tidak pemilik cafelah yang akan melayani café. Café kecil memang tapi cukup laris dan pendapatannya lumayan besar. Bahkan banyak juga yang delivery untuk daerah sekitar yang terjangkau. Coffee disini memang enak. Ekstraknya sangat berkualitas. Tak heran semua pencinta kopi akan memasukkan café ini dalam list mereka. Tapi hari ini Shani menemukan hal yang berbeda. Hari ini café tidak seramai kemaren. Hanya ada 3 perempuan di meja yang sama, dari 9 meja yang ada. Pikirannya kembali pada hari ia di pecat oleh Pak Boni. Apa yang salah? Ia langsung memeriksa semua hal. Mulai dari pintu, meja, rasa kopi, cangkir, dan sebagainya.
Pintu terbuka. Seorang lelaki masuk. Ia menduduki kursi di meja dekat pintu. Shani mulai lega. Setidaknya ia bersyukur masih ada yang datang. Tapi masih cemas. Ini masih aneh. Seorang lelaki lagi. Wajahnya taka sing. Pak Jun. Pemilik café. Sebenarnya tidak cocok di panggil “Pak” karena masih 20 an. Ada apa ini? Langkahnya cepat. De javu. Jun mendatangi meja pria yang baru memesan. Dan setelah itu lelaki itu beranjak dan pergi. Sangat aneh. Bahkan lelaki itu tidak membayar, dan baru meminum seteguk. Jun berjalan menuju Shani. Dengan tatapan yang… De Javu. Apa aku akan berakhir lagi?
“Maaf, Pak. Saya beenar-benar tidak mengerti. Mohon kasih saya kesempatan lagi, saya berjanji saya akan memperbaiki semua kesalahan saya, Pak” Shani hanya menunduk. Tak kuat menerima kenyataan yang mungkin akan diterimanya.
Tak ada respon yang terdengar. Shani menatap ke arah Jun. Senyum. Senyum yang indah. Mata itu juga indah. Coklat. Terkadang menghilang karena senyum dengan tawa kecil itu. Shani terpaku.
“Hmmm” suara bass terindah itu menyadarkan Shani dari lamunan tingkat tingginya.
“Aku cuma mau ngingatin, tentang ketentuan café kita, khusus untuk hari Jum’at di jam sebelas sampai setengah satu, jangan layani pelanggan laki-laki, ya”. Shani bingung
“Lho, kenapa, Pak?”
“Kan Jum’atan?” jelas Jun singkat. Berharap itu sudah bisa menjelaskan semua.
“Trus kenapa, Pak?” Shani makin bingung.
Jun sejenak terdiam.
“Aku berharap, kamu berjilbab bukan hanya karena ingin bekerja disini” Jun segera berlalu.
Sekarang giliran Shani yang terpaku. Astaga!! Maksudnya sholat Jum’at. Bego banget sih Shan,,, kenapa nggak ngeh? Tapi setidaknya aku nggak dipecat.
Seharusnya Shani tenang dan senang. Ia tidak kehilangan pekerjaannya tapi ia makin gusar. ‘Aku berharap, kamu berjilbab bukan hanya karena ingin bekerja disini’. Kalimat itu makin membuatnya berpikir akan dirinya. Hidupnya. Dan statusnya. Aku muslim. Dan aku memakai jilbab. Seharusnya tak ada yang salah. Tapi sejenak ia berhenti pada pemikirannya. Tapi aku tidak sholat.
Ya, aku muslim. Karna itu agama yang dianut ibuku. Dan begitulah kebanyakan orang. Sholat? Terakhir kali aku melakukannya mungkin ramadhan ketika aku masih di SMA sebagai pelepas kewajiban karena kita mencatat agenda Ramadhan. Apakah aku perlu sholat?
Shani mulai kritis. Pikirannya mulai berkelana. Satu-persatu informasi di internet mungkin akan membantu. Ia mulai membaca satu-persatu dan mulai mengembalikan memori di sekolahan yang dulu pernah ia pelajari.
Sebuah pesan masuk. Ia meraih handphone yang masih mengisi dayanya. Boss. Kontak itu membuatnya kaget. Apakah kali ini ia akan dipecat karna ketahuan bahwa ia memakai jilbab hanya karena pekerjaan itu? ‘saya harap kamu mengerti apa yang saya maksudkan tadi’. Kenapa dia tidak mau berkata terus terang? Aku bahkan tidak tau bagaimana aku seharusnya. Tapi sepertinya tak ada pilihan lagi. Tak ada salahnya mencoba dan menjadikan kebiasaan baru. Tapi aku harus kembali mempelajari ini. Hufhh, basi. Tapi demi pekerjaan dan hidup.
Mulai paham sedikit demi sedikit dan mengerti. Praktek. Sekarang Shani berpikir praktek akan membuatnya mudah mengingat dan melakukan shalat dengan benar. Setidaknya Pak Jun tidak boleh tau bahwa aku tak pernah sholat selama 3 tahun ini. Wudhu’ dan sholat. Shani melakukannya berulang-ulang. Melihat video dan membaca dari sumber ada. Tenang. Tak pernah senikmat ini. Tak pernah lebih lega ini. Tak pernah merasakan kelapangan ini. Tanpa ia sadari air matanya menetes. Dan tetesan itu diikuti oleh tetesan lain. Tangisnya tumpah begitu saja. Ia juga masih bingung. Bahkan ia tidak bisa menjelaskan perasaan apa ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts